Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman. Bentuk kekayaan keberagaman tersebut diwujudkan dengan banyaknya suku bangsa, bahasa, dan agama. Selain keberagaman tersebut, hal lain yang tidak kalah istimewa ialah ribuan budaya turun temurun yang masih dipegang teguh oleh masyarakat, termasuk saat menjelajah kegiatan wisata di Klaten. Sebagai negara agraris, lansekap besar negara Indonesia adalah persawahan. Sebagian besar penduduknya mengandalkan pertanian untuk menopang hidup. Para petani tidak hanya memiliki ilmu pertanian, tetapi juga memiliki warisan atau tradisi yang masih dilestarikan. Menjadi menarik karena petani tetap melestarikan kebudayaan di tengah era globalisasi dan modernisasi tata cara hidup. Salah satu budayanya ialah wiwitan yang masih dilestarikan oleh desa wisata di Klaten. Pengertian tradisi wiwitanTradisi ini disebut sebagai ‘wiwitan’ karena menurut bahasa Jawa arti kata ‘wiwit’ adalah mulai. Tradisi ini bisa diartikan sebagai awalan sebelum memulai panen padi. Proses wiwitan dilakukan di sawah dan biasanya dipimpin oleh orang tua. Berdasarkan riset, hampir desa wisata di Klaten menyebut pemimpin ini dengan istilah “mbah kaum”. Tugas seorang mbah kaum adalah mengawal prosesi dengan berdoa. Kemudian, beliau akan melanjutkan memotong sebagian padi sebagai tanda jika padi sudah siap dipanen. Tidak hanya pemotongan padi, para petani beserta masyarakat menyajikan dan menyantap makanan bersama saat acara wiwitan. Makanan yang disajikan pun merupakan makanan tradisional yaitu nasi gurih, ayam kampung, sayur nangka, krupuk, tahu, ikan teri, rempeyek, telur ,dan jajanan pasar yang biasanya dibungkus dengan daun pisang atau jati. Kekhasan dari kegiatan ini adalah makanan yang disediakan dibawakan langsung oleh masyarakat, bukan dari pemerintah desa. Sajian yang dibawa dalam prosesi kemudian dimakan, tetapi tidak semua akan dihabiskan. Sebagian makanan ditinggalkan di sawah untuk persembahan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi yang telah menumbuhkan padi. Akibat modernisasi, banyak petani di wilayah desa wisata di Klaten tidak lagi menyelenggarakan tradisi wiwitan. Namun, di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul tradisi ini masih tetap dilestarikan para petani. Biasanya, lokasi wiwit agung berada di areal persawahan Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul. Kegiatan makan bersama masyarakat dengan sajian utama berupa “Sego Wiwit” dan makanan lain yang dibawakan oleh masyarakat desa. Sejarah upacara wiwitanDahulu masyarakat Jawa memiliki pemikiran yang bersifat metafisik atau mistis. Masyarakat kala itu percaya kalau wiwit agung tidak dilakukan, maka panen akan terganggu. Bentuk gangguan yang dimaksud adalah gangguan dari makhluk halus, maupun bencana. Bahkan, awal mula kegiatan wiwitan di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul juga demikian. Kurang lebih tahun 60an terjadi wabah tikus yang mengakibatkan gagal panen sampai berkali-kali. Para sesepuh mengatakan, saat itu keadaannya benar-benar parah. Bahkan, ada yang mengkonsumsi tikus untuk bertahan hidup. Paguyuban petani kala itu memutuskan untuk melakukan koordinasi dengan sesepuh. Dari koordinasi tersebut disarankan untuk mencari “orang pintar”. Setelah berdiskusi dengan “orang pintar” yang ada di desa, diputuskan untuk mengadakan kegiatan wiwit agung untuk pertama kali. Tujuan upacara wiwitanDi masa sekarang, saat teknologi dan ilmu sudah makin maju, wabah dan permasalahan panen dapat dijelaskan dan dicarikan solusi secara ilmiah. Akibatnya, wiwit agung kini perahan ditinggalkan. Wiwit agung di era modern diselenggarakan para petani di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul sebagai upaya pelestarian budaya. Petani merasa bahwa tradisi yang diwariskan leluhur mengandung banyak nilai yang berguna bagi kehidupan di masyarakat. Petani yang beragama islam memiliki pandangan yang serupa, mereka melihat keberadaan tradisi wiwitan sebagai sebuah sarana menjalin silahturahmi dan berbagi kepada warga. Upacara wiwitan sebagai atraksi wisata di Kabupaten KlatenSeperti yang dijelaskan di atas, prosesi wiwitan di Desa Wisata Klaten dimulai dengan adanya doa dan potong padi oleh mbah Kaum. Doa yang dipanjatkan diiringi dengan proses membakar dupa serta memercikan air yang telah didoakan ke persawahan. Setelah melalui prosesi tersebut, semua hidangan disajikan di salah satu sudut lahan yang akan dipanen. Setelah itu ia meletakkan sejumlah takir (wadah kecil berisi makanan beralas daun pisang) ke sudut-sudut persawahan yang hendak dipanen. Makanan yang sudah didoakan juga dibagikan kepada semua orang yang mengikuti wiwitan. Tak jarang, sejumlah orang yang kebetulan lewat juga mendapatkan makanan. Hal inilah yang menjadi daya tarik di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul sehingga para wisatawan yang datang berwisata di Kabupaten Klaten dapat berbaur dalam tradisi ini. Para petani tidak merasakan keberatan. Bagi mereka wiwitan merupakan “wujud syukur bahwa rejeki yang diterima seberapapun besarnya harus dibagi agar orang-orang ikut menikmatinya”. Konon masyarakat Jawa yang tinggal di desa berprinsip bahwa Bersyukur tidak harus menunggu memiliki harta yang banyak. Selain melibatkan wisatawan, prosesi wiwitan di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul Prambanan Klaten juga melibatkan sejumlah anak muda yang antusias. Nampak di mata mereka bahwa ada budaya luhur yang dilakukan saat kegiatan panen. Hal inilah yang terus dilakukan oleh desa wisata ini sehingga anak cucu dapat merasakan budaya wiwitan. Acara wiwitan tidak sembarang dilaksanakan, karena perlu dilakukan perhitungan hari yang dinilai baik agar hasil yang diperoleh semakin berkah. Hari tersebut dihitung menurut kalender Jawa yaitu (pon, wage, kliwon, legi, pahing). Berdasarkan pertimbangan tersebut kemudian digunakan sebagai perhitungan jumlah padi yang akan dipetik pertama kali dan diboyong pulang. Semisal dilakukan pada hari Selasa Pahing, maka Selasa dihitung tiga dan Pahing sembilan dimana hasil tersebut ditambah dan dikalikan dua. Makna dikalikan dua sebagai bentuk pasangan penganten. Setelah dikalikan dua, ditambahkan dua lagi sebagai bentuk pengiring pengantin. Hasil akhir ialah 26, maka sebanyak 26 padi yang dipetik pertama kali. Hari yang dipilih biasanya adalah hari dengan jumlah nilai perhitungan yang besar seperti Rabu Pon atau Sabtu Legi. Meskipun demikan, hari yang dipilih juga tidak selalu tentang besarnya hasil perhitungan. Pemilihan hari juga disesuaikan silsilah “hari baik” agar kualitas hasilnya baik “menthes”. Istilah “menthes” digunakan orang Jawa untuk menjelaskan hasil yang maksimal. Pada hari baik tersebut padi dipanen dan disiram air dari kendhi dengan kembang turi supaya padi hasil panen memiliki kualitas yang baik “menthes”. Tidak hanya itu, sawah juga diputari dengan arah ke kanan dan masing-masing pojok sawah ditanami simbol wayang pethruk sebagai bentuk penjagaan terhadap sawah padi tersebut. Demikianlah sejarah dan makna tradisi wiwit ageng di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul, salah satu desa wisata yang ada di Kabupaten Klaten. Tradisi wiwitan mungkin berbeda-beda di tiap daerahnya. Dengan tetap dilestarikannya tradisi ini, diharapkan budaya-budaya di Indonesia tidak hilang tergerus kemajuan zaman. Generasi yang akan datangpun dapat merasakannya. Salam Budaya.